Salam kenal

IMG_20150528_201250Welcome sobat. Saya bukan penulis atau penutur yang baik. Bukan pujangga, tidak puitis, dan cenderung straight forward dalam mengungkapkan pendapat. What the hell makes me try to build such a webblog like this ?  ….. sederhana, ingin belajar dan berbagi.

Dunia kerja saya adalah dunia perpajakan. Tulisan saya merupakan pendapat (curhat) tentang peraturan, kebijakan, praktek di dunia perpajakan, yang menggambarkan keingintahuan atau masukan pribadi.

Saya berharap blog sederhana ini dapat menjadi tempat pertukaran informasi dan menambah kawan diskusi.

Just my blog.

PPN atas Jasa Kesenian dan Hiburan

hiburan1 Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan Yang Tidak Dikenai PPN mengundang komentar beragam dari masyarakat. Terdapat pendapat bahwa PMK ini bertentangan dengan rasa keadilan karena membebaskan PPN atas tempat hiburan seperti diskotik, kelab malam dan sejenisnya. Padahal seharusnya kegiatan dunia malam dipajaki lebih sebagai kompensasi dampaknya.

Sebenarnya PMK ini hanya menjalankan regelling (amanat untuk mengatur) menurut Pasal 6 PP 1/2012, yaitu rincian biaya atau kriteria jasa yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) UU PPN, antara lain jasa kesenian dan hiburan.

Tidak dijelaskan dalam penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf h UU PPN bahwa pengecualian pengenaan PPN atas jasa kesenian dan hiburan karena objek tersebut sudah dikenakan pajak daerah (double taxation), meskipun dipahami demikian. Lain halnya dengan objek makanan dan minuman di hotel atau restoran yang dalam penjelasannya dengan tegas menyatakan bahwa objek tersebut telah dikenakan pajak daerah.

Sebenarnya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dan UU PPN mempunyai playing field masing-masing. Namun dalam praktiknya tidak dapat dihindari adanya persinggungan kedua UU, dapat karena belum jelasnya pengaturan di UU, UU itu sendiri yang ‘offside’ ke wilayah pihak lain, atau aturan pelaksanaannya cenderung memperluas ‘wilayah’.

PMK 158/2015 yang terbit setelah UU No. 29/2009 (UU PDRD) mencoba meletakkan kembali batas objek PPN dan PDRD. Dalam penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf h tidak dijelaskan pengertian jasa kesenian dan hiburan, hanya dinyatakan ‘meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan’. Pedoman yang digunakan oleh PMK 158/2015 untuk meletakkan kembali objek PDRD adalah UU No. 29/2009 itu sendiri.

Pengertian jasa kesenian dalam UU PPN sangat luas, yaitu semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni. Sepanjang kesenian tersebut dilakukan oleh pekerja seni maka atas penyerahannya tidak dikenai PPN. Sedangkan pengertian hiburan mengacu pada Pasal 1 angka 15 UU PDRD adalah jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Sedangkan UU PDRD sebelumnya, UU No. 34 Tahun 2000, mendefinisikan Hiburan sebagai ‘semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaanan fasilitas untuk berolah raga’.

Berdasarkan pengaturan UU PDRD dapat ditarik benang merah bahwa hiburan adalah tontonan/pertunjukan, keramaian, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk olah raga. PMK 158/2015 kembali mendudukan negatif list jasa hiburan yang tidak dikenai PPN berdasarkan benang merah tersebut. Rincian jasa hiburan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU No. 29/2009 yang tidak mengandung unsur tontonan, meliputi panti pijat, refleksi, dan mandi uap/spa dan fitness centre tidak dimasukkan sebagai negative list dalam PMK 158/2015, sehingga konsekuensinya atas penyerahan jasa tersebut dikenai PPN . Demikian juga permainan bilyar, golf dan bowling yang lebih ke arah pemakaian fasilitas/sarana olahraga. Bahkan untuk bowling telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga bukan merupakan objek Pajak Hiburan.

Perluasan objek pajak dalam praktiknya tidak dapat dihindari. Diperlukan lebih dari suatu aturan berbentuk PMK untuk mencegah double taxation, namun juga perubahan Mind set target penerimaan dan UU yang selaras satu sama lain.

hiburan4

The Arm’s Length Business Restructuring

this_is_file_name_1033Untuk menghadapi persaingan global maka perusahaan multinasional dituntut agar terus meningkatkan efektivitas. Struktur usaha merupakan kunci efektifitas bisnis supaya tetap bertahan di persaingan pasar. Inilah mengapa dalam dekade terakhir perusahaan multinasional mempunyai perhatian yang besar pada struktur bisnis dan upaya untuk melakukan restrukturisasi usaha.

Ketika menghadapai kebangkrutan pada tahun 2009 General Motor Co. (GM) melakukan restrukturisasi dengan menghentikan produksi Pontiac, Hummer, dan merampingkan lini produksi Opel, subsidiary-nya di Jerman. GM kembali listing pada tahun 2010 sebagai perusahan baru dengan mendapatkan fasilitas bail-out dari pemerintas AS dan pinjaman dari pemerintah Jerman. GM pada tahun 2010 kembali memperoleh laba dan pada tahun 2011 kembali menjadi nomor satu untuk penjualan di seluruh dunia.

Contoh sukses restrukturisasi usaha di Indonesia baru-baru ini adalah konsolidasi (regrouping) perusahaan semen BUMN. Pada akhir 2012 pemerintah selaku pemegang saham mayoritas mengubah PT Semen Gresik (Persero), Tbk. menjadi PT Semen Indonesia sebagai strategic holding group perusahaan semen BUMN. PT Semen Indonesia mengakuisisi Thang Long Cement Company (TLCC), perusahaan semen terkemuka Vietnam, sekaligus menjadikan perusahaan sebagai BUMN pertama yang berstatus multinational enterprise.

Restrukturisasi usaha berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan adalah hal yang lumrah dalam praktek bisnis global. Apabila pihak yang terlibat adalah perusahaan afiliasi (associated party) lintas batas negara maka kewajarannya (arm’s length business restructuring) menjadi perhatian otoritas pajak. Tujuan restrukturisasi untuk menjaga efektivitas usaha salah satunya adalah dengan menekan beban pajak grup usaha melalui transfer pricing.

Restrukturisasi usaha dalam sudut pandang transfer pricing didefinisikan pada Chapter IX OECD Transfer Pricing Guideline sebagai ‘the cross-border redeployment by multinational enterprise of functions, assets and/or risks’. Restrukturisasi bermakna terjadinya transfer functions, assets dan risks antara perusahaan afiliasi. Transfer analytical functions tersebut mengakibatkan terjadinya downsizing pada salah satu perusahaan afiliasi dan terjadinya realokasi profit potential. The more valuable the functions, assets and risks, the higher the profits it should expect.

Model Bisnis Untuk Transfer Pricing

Downsizing perusahaan afiliasi melalui transfer assets, functions dan risks dapat diketahui melalui analisa model bisnis sebelum dan setelah restrukturisasi. Model bisnis untuk tujuan transfer pricing pada umumnya berupa konversi afiliasi lokal dari ‘fully fledge’ menjadi ‘limited risk’.

Restrukturisasi dapat berupa konversi perusahaan afiliasi lokal dari full-fledge distributor menjadi limited risk distributor atau commissionaires. Limited risk distributor mirip dengan full-fledge distributor, memiliki inventory risk dan melakukan penjualan atas nama sendiri namun beberapa risiko dibatasi. Misalkan kegiatan marketing berdasarkan instruksi/riset dari prinsipal di luar negeri. Sedangkan commissionaires tidak memiliki inventory risk dan menjual produk atas nama prinsipal.

Model bisnis lainnya adalah konversi full–fledged manufacturer menjadi contract manufacturer atau toll manufacturer. Fully fledged manufacturer melakukan seluruh fungsi produksi dan risiko yang melekat (inventory risk, market risk, warranty risk), serta memiliki intangible property (IP). Sedangkan contract manufacturer menanggung risiko terbatas, yaitu inventory risk dan quality control tanpa memiliki IP. Toll Manufacturer lebih tepat dikatakan sebagai penyedia jasa yang tidak menanggung inventory risk dan tidak memiliki IP.

Sentralisasi intangible property afiliasi lokal ke prinsipal/afiliasi asing juga merupakan model bisnis untuk menekan laba perusahaan afiliasi lokal. IP yang timbul pada perusahaan afiliasi lokal, dapat terjadi karena riset marketing pasar, penguasaan informasi berupa customer/supplier list, atau pengalaman manufacturing, ditransfer ke prinsipal. Dengan demikian, profit potential yang menyertai intangibles afiliasi lokal tersebut terpusatkan di prinsipal.

Lazimnya transfer terjadi dari perusahaan afiliasi lokal ke prinsipal atau perusahaan afiliasi berskala regional/internasional. Namun pada saat downturn ekonomi, di saat prinsipal mengalami kerugian dapat terjadi reverse restructuring, yaitu transfer intangible assets, functions dan risks dari prinsipal ke afiliasi lokal untuk membagi kerugian. Prinsipnya tetap sama yaitu terjadi transfer atau downsizing intangible assets functions dan risks.

Isu Utama Transfer Pricing

Aspek transfer pricing pada Restrukturisasi Bisnis di bahas pada Chapter IX OECD TP Guidelines (TPG). Dalam sudut pandang transfer pricing, restrukturisasi bisnis dilakukan dengan me-downsize functions, assets and risks perusahaan afiliasi yang memiliki beban pajak tinggi ke perusahaan afiliasi di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah atau mendapat fasilitas pajak sehingga beban pajak grup usaha secara keseluruhan dapat diminimalisasi.

Sesuai dengan prinsip arm’s length price pada artikel 9 OECD dan UN Model Tax Convention, pertanyaan utama nya adalah : “are there conditions made or imposed in the restructuring which differ from conditions that would be made between independent enterprises?”. Pada kondisi Arm’s length profit, bagian laba perusahaan afiliasi ditentukan sebagaimana perusahaan afiliasi tersebut beroperasi secara independen. Dengan demikian, kondisi yang diterima perusahaan afiliasi ketika restrukturisasi bisnis dan setelah restrukturisasi bisnis haruslah sama dengan kondisi yang diterima antar perusahaan independen. Apakah perusahaan independent akan mau di-downsized?, transfer apa yang terjadi? bila setuju secara bisnis apa yang seharusnya diterima?.

Pada Chapter IX OECD TPG terdapat beberapa isu utama transfer pricing, di antaranya adalah transfer risiko dan arm’s length compensation.

Transfer risiko

Dalam restrukturisasi bisnis, transfer risiko merupakan aspek yang paling penting. Downsizing perusahaan afiliasi lokal paling mudah dilakukan dengan mentransfer risiko karena risiko paling mudah (diklaim) dipindahkan dibandingkan functions atau assets. Risiko juga paling sulit diidentifikasi sehingga dalam kasus transfer pricing, transfer risiko akan menjadi isu perdebatan. Asumsinya adalah risiko yang meningkat akan diikuti dengan profit potential yang meningkat pula (no risks no gains).

Contractual Terms

Pengujian kontrak adalah langkah awal untuk mengidentifikasi kepada dan dari siapa transfer risiko. Sangatlah mudah di antara perusahaan afiliasi untuk mengatur secara tertulis kepada siapa risiko ditransfer, karena mereka mempunyai kepentingan yang sama dan dalam penguasaan yang sama. Oleh karena itu, pengujian kontrak dilakukan dengan membandingkan aktivitas nyata perusahaan afiliasi dengan risiko yang diatur dalam kontrak sesuai dengan prinsip substance over form rule.

Sebagai contoh, full-fledged distributor menanggung risiko bad debt menurut kontrak. Namun ternyata pihak ke-3 atau supplier akan memberikan kompensasi setiap klaim yang tidak terbayar, atau harga jual berdasarkan resale price dan pendapatan distributor ditentukan berdasarkan komisi atas penjualan kas basis. Fakta di lapangan menunjukkan distributor yang ditunjuk dalam kontrak menanggung risiko ternyata tidak menanggung risiko.

Arm’s length risks allocation

Prinsipnya sama dengan arm’s length price, apabila terbukti harga yang sama berlaku pada transaksi antara pihak independen maka harga tersebut telah memenuhi kewajaran. Demikian pula dengan kewajaran transfer risiko, apabila terbukti ada pembanding transfer risiko sejenis dilakukan antar pihak-pihak independen maka dapat dikatakan transfer risiko tersebut wajar.

Pada prakteknya sangatlah sulit mencari pembanding risiko. Apabila tidak terdapat data pembanding otoritas pajak tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa transfer risiko tidak arm’s length. Pengujian kewajaran transfer risiko dilakukan berdasarkan pertimbangan apakah dalam kondisi sebanding transfer risiko tersebut juga terjadi antar pihak independen. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pihak mana yang memiliki kontrol dan memiliki kemampuan finansial untuk menanggung risiko.

Pengertian ‘control’ menurut Chapter IX OECD TPG adalah kapasitas untuk membuat keputusan dalam menanggung risiko (decision to put the capital at risk) dan keputusan bagaimana me-manage risiko tersebut. Kontrol tidak berarti melakukan pengawasan dan kegiatan administrasi rutin karena fungsi ini dapat di-outsourcing-kan. Penanggung risiko akan mendapatkan outcome dari kegiatan monitoring dan administrasi rutin tersebut. Dengan demikian, pihak lain yang melaksanakan fungsi monitoring dan adminsitrasi tersebut tidak dapat dikatakan telah menerima transfer risiko. Risiko tetap di tangan penerima outcome kegiatan tersebut.

Misalkan perusahaan contract manufacturer terikat kontrak dengan prinsipal untuk menghasilkan produk atas nama prinsipal dengan menggunakan teknologi prinsipal. Prinsipal menjamin pembelian seluruh produk yang dihasilkan dengan spesifikasi teknis, rencana produksi dan jadwal serta volume pengiriman yang telah ditetapkan oleh prinsipal. Walaupun kegiatan produksi dilakukan oleh contract manufacturer, prinsipal adalah pihak yang membuat keputusan untuk mengontrol risiko pasar dan persediaan. Kapasitas yang dimiliki prinsipal adalah keputusan untuk membuat kontrak (terminasi) dengan contract manufacturer, menentukan jenis, volume, waktu produksi dan pengiriman barang. Prinsipal akan menerima laporan harian produksi atau pengiriman barang termasuk quality control. Sedangkan risiko yang dimiliki contract manufacturer sebatas risiko operasional, yaitu risiko kehilangan klien atau risiko membayar denda akibat mutu produksi tidak sesuai quality control.

Faktor lainnya yang relevan sebagai penentu kewajaran transfer risiko adalah kemampuan finansial untuk menanggung risiko. Penanggung risiko haruslah mampu menanggung konsekuensi risiko atau memiliki mekanisme untuk melindungi risiko. Kemampuan finansial dalam menanggung risiko bukan berarti mampu membayar seluruh risiko yang terjadi, tetapi kemampuan dalam memproteksi diri dari konsekuensi risiko yang terjadi, karena risiko dapat dimitigasi atau dilindungi (asuransi).

Sebagai contoh, sebuah perusahaan dealer mobil bertanggung jawab atas klaim produk yang dijual kepada pelanggan. Berdasarkan kontrak, sebuah perusahan afilasi akan me-reimburse semua klaim pelanggan yang ditanggung oleh dealer. Dengan demikian, menurut kontrak risiko ditransfer dari dealer kepada perusahaan afiliasinya. Namun berdasarkan pengujian, diketahui perusahaan afilasi tersebut tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar reimbursemen kepada dealer atau tidak memiliki mekanisme untuk melindungi risiko yang terjadi. Pada kasus ini dapat dikatakan secara efektif dealer tetap menanggung risiko (tidak terjadi transfer risiko) atau perusahaan induk mengambil alih risiko tersebut (bukan perusahaan afilasi sebagaimana disebut dalam kontrak) sehingga tetap terjadi transfer risiko dari dealer tersebut.

Arm’s Length Compensation

'Stop complaining and be thankful we found a place for you in the restructuring!'Transfer risiko dalam aspek transfer pricing, sebagaimana analytical function lainnya (functions performed dan assets used), bermakna terjadi transfer profit potential yang mengikutinya. Menurut Chapter IX OECD TPG Arm’s length principle tidak mensyaratkan adanya kompensasi hanya akibat menurunnya ekspekstasi laba di masa yang akan datang (profit potential). Kompensasi akan arm’s length apabila terjadi transfer assets (right) atau terminasi/renegoisasi kontrak.

Untuk mengidentifikasi apakah kompensasi saat restrukturisasi adalah arm’s length perlu terlebih dahulu memahami restrukturisasi bisnis itu sendiri, yaitu: perubahan apa yang terjadi setelah restrukturisasi bisnis, alasan bisnis dilakukannya restrukturisasi, pilihan realistis lainnya yang tersedia pada kondisi arm’s length.

Sebagai ilustrasi, distributor lokal dihadapkan dengan pilihan kebijakan restrukturisasi grup usahanya. Dengan interval net profit margin antara -1% s/d +7% (ketidakpastian yang tinggi) afiliasi lokal dihadapkan pada pilihan direstrukturisasi dengan mendapatkan profit stabil +2%. Apakah pilihan direstrukturiasi menjadi pilihan yang arm’s length?, apakah perusahaan independen mau direstrukturisasi dengan kondisi tersebut?. Jawabannya adalah ‘sangat tergantung’, tergantung pada return yang diharapkan, risiko yang ditanggung, opsi realistis yang tersedia, dan kompensasi yang mungkin diterima. Lain halnya jika distributor dengan ekspekstasi laba +5% s/d +10% (ketidakpastian yang tinggi) direstrukturisasi sehingga mendapatkan laba stabil hanya sebesar +2% pertahun. Dapat dipastikan restrukturisasi ini tidak arm’s length, karena perusahaan independen tidak akan mau dalam kondisi ini melakukan alokasi risiko dan profit potential yang menyertainya tanpa mendapat kompensasi yang wajar.

Intangible Assets

Dalam transfer pricing, transfer assets (rights) menjadi perhatian utama di samping transfer risiko. Transfer risiko hanya berarti transfer profit potential, namun transfer assets di samping berarti transfer profit potential juga diikuti dengan pembayaran kompensasi. Identifikasi transfer assets (rights) dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memahami model bisnis sebelum dan sesudah restrukturisasi..

Transfer intangible assets biasanya dilakukan dengan mensentralisasi kepemilikan intangible assets perusahaan lokal kepada perusahaan afiliasi asing. Ketika perusahaan afiliasi lokal di-downsized menjadi ‘limited risk, limited intangibles, low remuneration’, pertanyaan yang muncul adalah apakah downsizing ini menimbulkan transfer IP lokal seperti customer list yang melekat pada kegiatan bisnis lokal.

Transfer IP menimbulkan masalah tidak hanya mengenai identifikasi IP, juga bagaimana menilai IP tersebut. Identifikasi IP akan sulit karena tidak semua IP dilindungi oleh hukum, terdaftar dan dicatat dalam pembukuan. Formula rahasia minuman Coca-Cola tidak dipatenkan dan tidak dicatat dalam pembukuan, namun jelas secret recipe tersebut adalah IP milik Coca-Cola Company.

Definisi IP menurut OECD TPG sangat luas, tidak linear dengan pengertian IP dalam Pasal 12 P3B dan tidak sama dengan pengertian IP dalam akuntansi. Termasuk dalam pengertian IP adalah customer list, jalur distribusi, nama yang unik, symbol atau gambar.

Pada kasus downsizing full-fledged distributor menjadi limited risk distributor, penting untuk menganalisa apakah distributor lokal tersebut selama ini telah mengembangkan local marketing intangibles. Apabila benar ada, apa nature IP tersebut?, apakah IP tersebut ditransfer ke perusahaan afiliasi asing?. Arm’s length principle diterapkan untuk menentukan apakah seharusnya ada dan berapa nilai kompensasi atas transfer IP tersebut.

Apabila IP afilasi lokal telah teridentifikasi dan ternyata tidak ditransfer ke afilasi asing maka IP tersebut akan diperhitungkan dalam analytical function afiliasi lokal setelah restrukturisasi. Identifikasi IP afiliasi lokal ini juga mempengaruhi pemilihan metode transfer pricing yang tepat untuk transaksi afiliasi setelah restrukturisasi dan remunerasi yang diterima dari penggunaan IP lokal oleh afiliasi asing selama periode umur IP tersebut (OECD TPG mendorong penggunaan metode profit split untuk transaksi yang melibatkan IP di kedua belah pihak).

Dalam restrukturisasi bisnis, transfer assets dapat juga diikuti dengan transfer kemampuan untuk melakukan fungsi tertentu dan risiko yang melekat. Transfer mesin dapat berarti adanya transfer unit bisnis (function) manufacturing di mana dapat melibatkan adanya transfer know-how karena adanya transfer skilled labor atau key-employee. Transfer unit bisnis ini harus dilihat secara utuh, bukan sekedar transfer assets atau functions yang dianalisa secara parsial.

Contract Termination

Kompensasi dalam kondisi arm’s length juga dapat terjadi ketika terminasi kontrak. Ketika hubungan bisnis yang ada menurut kontrak diterminasi atau di-renegoisasi tentu ada pihak yang ‘dirugikan’ karena harus menanggung biaya restrukturisasi (write-off asset, terminasi kontrak pegawai), biaya rekonversi bisnis, dan kehilangan profit potential. Misalkan afiliasi lokal diubah dari full-fledged distributor menjadi low-risk distributor, atau dari full-fledged manufacturer menjadi toll-manufacturer. Dalam situasi ini timbul pertanyaan, pada kondisi arm’s length apakah perusahaan independen akan setuju bahwa perusahaan yang direstrukturisasi akan mendapatkan pembayaran kompensasi (dan berapa nilainya).

Tidak semua terminasi atau renegoisasi kontrak akan menimbulkan kompensasi. Perlu dianalisa kondisi saat restrukturisasi terjadi terutama asset (rights) dan pilihan realistis yang dapat dipilih. Kondisi yang perlu diperhatikan adalah apakah dalam kontrak terdapat klausul tertulis tentang kompensasi, apakah hukum positif mengatur kompensasi atas terminasi kontrak, dan apakah dalam kondisi yang sama perusahaan independen akan mau membayar kompensasi.

Perusahaan afiliasi yang ter-downsized mungkin melepaskan hak kompensasinya dengan harapan mendapatkan remunerasi lebih besar setelah restrukturisasi. Misalkan perusahaan afiliasi lokal yang melakukan fungsi manufacturing dan trading dipecah menjadi hanya melakukan manufacturing. Afiliasi lokal ini mempunyai pilihan mendapatkan kompensasi pada saat restrukturisasi atau mendapatkan remunerasi yang lebih besar setelahnya. Remunerasi yang lebih besar didapatkan afiliasi lokal berupa transfer pricing lebih tinggi atas penjualan produk manufakturnya ke distributor.

Tantangan bagi otoritas pajak untuk melihat secara utuh perjanjian yang ada dengan menganalisa secara terpisah arm’s length compensation saat restrukturisasi dan arm’s length remuneration setelah restrukturisasi. Mengutip pernyataan seorang ahli transfer pricing :‘transfer pricing is an art, not an exact science … cause we debating a summary of a business process, may be we are too narrow, may be we are too weight..’.

Kesimpulan

Restrukturisasi bisnis untuk tujuan transfer pricing dilakukan dengan mentransfer (downsize) risiko dan assets (rights) perusahaan afiliasi lokal ke afiliasi asing (prinsipal), sehingga terjadi transfer profit potential. Transfer risiko dan transfer intangible property menjadi isu utama transfer pricing. Transfer risiko berarti transfer profit potential, namun transfer assets di samping diikuti dengan transfer profit potential juga diikuti dengan pembayaran kompensasi. Identifikasi transfer assets (rights) dilakukan dengan memahami model bisnis sebelum dan sesudah restrukturisasi. Restrukturisasi perusahaan afiliasi dikatakan wajar (arm’s length) apabila pada kondisi yang sama perusahaan independen setuju untuk direstrukturisasi, dengan mempertimbangkan pembayaran kompensasi atas transfer assets (rights) atau terminasi kontrak, dan remunerasi post restructuring dengan mempertimbangkan profit potential yang dimiliki perusahaan afiliasi.

Tulisan ini dimuat pada Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 6/Tahun 2015.

BENANG KUSUT KPDA, ‘REP OFF’ DAN BUT

officeMungkin terdengar asing dengan istilah ‘Rep Off’, Representative Office, ‘RO’, liaison office, ‘Rep Off murni’, KPDA, KPD. Juga sering muncul pertanyaan ‘apakah kantor saya termasuk representative office, KPDA atau BUT ? … dan apakah dikenakan PPh Badan di Indonesia ?’. Semakin banyak istilahnya di lapangan, semakin beragam isunya dan semakin rumit memahaminya. Untuk menguraikan benang kusut, pertama-tama dibedakan dulu istilah subyek pajak yang dikenal dalam aturan perpajakan dan istilah bentuk kantor atau kegiatan perwakilan perusahaan asing.

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh, Subyek Pajak Luar Negeri hanya dikenal dengan istilah WP LN (berbentuk) BUT atau WP LN Non BUT. Istilah lain seperti : Kantor Perwakilan Dagang (KPD), Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA), Representative Office (Rep. Off), Liaison Office hanyalah sebutan untuk bentuk atau kegiatan kantor perwakilan asing. Kantor perwakilan asing bahasa inggrisnya representative office (Rep Off) atau Liaison Office. Rep Off dengan usaha dagang disebut Kantor Perwakilan Dagang Asing. Sekali lagi, itu hanyalah istilah bentuk kantor atau kegiatan, sedangkan untuk menentukan hak dan kewajiban perpajakannya berbagai istilah kantor perwakilan asing tersebut harus diklasifikasikan terlebih dahulu sebagai WP LN Non BUT atau BUT.

Sederhananya, WP Luar negeri (Non BUT) tidak mempunyai kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan dan kewajiban PPh Badannya melalui pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% oleh pemberi penghasilan. Sedangkan BUT mempunyai kewajiban perpajakan yang sama dengan WP Badan Dalam Negeri, Lapor SPT Tahunan PPh Badan dan sebagai PKP memungut PPN, ditambah kewajiban Branch Profit Tax Pasal 26 ayat (4) UU PPh.

Penentuan BUT berdasarkan kriteria BUT dalam UU PPh atau tax treaty (P3B) apabila kantor pusat berasal dari Negara treaty partner. Aturan Undang-undang domestik akan cenderung mengamankan hak pemajakannya sedangkan P3B cenderung membatasi hak pemajakan negara sumber. UU PPh memperluas kriteria BUT sedangkan P3B akan membatasi definisi BUT. UU PPh akan mengenakan penghasilan usaha WP LN BUT maupun Non BUT, sedangkan P3B menyatakan hanya penghasilan usaha WP LN berbentuk BUT yang dapat dikenakan PPh (No PE no tax). Karena P3B lex spesialis terhadap UU PPh maka P3B akan me-over rule UU domestik.

Dalam perspektif UU PPh, adanya kantor cabang/perwakilan perusahaan asing di Indonesia menimbulkan BUT, sesederhana apapun kegiatannya. Pasal 2 ayat (5) UU PPh mengatur bahwa kantor cabang, perwakilan, gudang menimbulkan BUT. Bahkan adanya gedung kantor sudah menimbulkan BUT. Jadi jangan bingung atau heran apabila berbagai ketentuan peraturan perpajakan domestik secara langsung dan tegas menyatakan kantor perwakilan asing dikenakan PPh Badan di Indonesia, tanpa reaksional ‘apabila berbentuk BUT’.

Sebagai contoh Keputusan Menteri Keuangan No.634/KMK.04/1994 jo KEP – 667/PJ./2001 yang menjadi pedoman kewajiban PPh BadanKantor Perwakilan Dagang Asing. Dalam aturan tersebut kantor perwakilan dagang asing dikenakan PPh Pasal 15 final dengan tarif efektif 0,44%. Tidak ada klausul ’apabila berbentuk BUT’ atau ‘tarif menyesuaikan dengan P3B’. SE-2/PJ.03/2008 sudah lebih jelas dengan menampung tarif branch profit tax Pasal 10 P3B, namun masih mengabaikan terbentuknya BUT menurut P3B.

Keputusan Menteri Keuangan No.634/KMK.04/1994 dibuat dalam rangka memenuhi wewenang regelling yang diatur dalam Pasal 15 UU PPh, yaitu menetapkan deemed profit untuk Wajib Pajak tertentu, dalam hal ini Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA). Apabila kegiatannya bukan perdagangan, misalkan jasa, maka berlaku general rule perhitungan PPh Badan menurut Pasal 16 dan tarif pajak menurut Pasal 17 UU PPh. KMK No.634/KMK.04/1994 juga menetapkan tarif efektif sebesar 0,44%. Penetapan tarif efektif ini disamping melebihi wewenang regelling-nya yang hanya menetapkan deemed profit, juga menimbulkan dispute di lapangan, yaitu apakah variabel tarif efektif tersebut mengikuti perubahan tarif Pasal 17 UU PPh.

Style aturan domestik dengan menyatakan seluruh kantor perwakilan dagang asing di Indonesia dikenakan tarif efektif 0,44% menimbulkan kebingungan di lapangan, seolah-olah berlaku untuk seluruh kantor perwakilan dagang asing (KPDA). Padahal untuk KPDA yang kantor pusatnya berasal dari Negara treaty partner akan digunakan ketentuan BUT menurut P3B, dan sekarang ini hampir seluruh Negara asal KPDA tersebut adalah treaty partner. Bahkan Hongkong sudah menjadi treaty partner efektif mulai tahun 2013. Jadi dapat dikatakan sekarang ini kriteria BUT dalam P3B harus diperhatikan dalam mengenakan PPh Badan atas KPDA.

P3B mengatur bahwa tanpa terbentuk BUT di Negara sumber maka tidak ada hak pemajakan atas kegiatan usaha (business profit) di Negara sumber (No PE no tax). P3B juga mengatur kegiatan tertentu yang dianggap tidak signifikan sehingga tidak terbentuk BUT. Pembatasan kriteria BUT tersebut biasanya diatur dalam artikel 5, misalnya tidak terbentuk BUT apabila kegiatan hanya semata-mata menyimpan, memamerkan barang kantor pusat, membeli atau mengumpulkan informasi untuk kantor pusat, atau kegiatan yang hanya bersifat penunjang atau persiapan kantor pusat. Kegiatan ini dianggap tidak berkontribusi signifikan terhadap penghasilan yang akan diterima kantor pusat sehingga tidak ada penghasilan yang layak ‘attributable’ pada kantor perwakilan ini. Kantor perwakilan asing yang bukan BUT ini dikenal juga sebagai ‘Rep Off murni’ di lapangan. Demikian juga apabila kegiatan perwakilan asing dilakukan oleh agen bebas (independent agent), yaitu melakukan kegiatan semata-mata business as usual agen tersebut (broker, general commission agent), tidak terbentuk BUT.

Sebagai contoh, apabila KPDA Hongkong hanya menyimpan dan memamerkan barang contoh ke pelanggan maka penjualan barang oleh kantor pusat ke customer tersebut di Indonesia tidak dikenakan PPh Pasal 15 berdasarkan KMK No.634/KMK.04/1994 karena KPDA tersebut bukan BUT menurut artikel 5 ayat (4) P3B Indonesia-Hongkong. Namun apabila ternyata KPDA tersebut juga secara rutin mengantar (deliver) barang milik kantor pusat ke pelanggan maka berdasarkan artikel 5 ayat (5) terbentuk BUT sehingga dikenakan PPh Pasal 15 berdasarkan KMK No.634/KMK.04/1994.

Artikel 5 P3B juga mengatur berbagai variasi kegiatan kantor perwakilan sebagai agen tidak bebas (dependent agent) yang menimbulkan BUT. Misalkan memproses, mengantar barang milik barang milik kantor pusat, atau secara teratur menutup kontrak atas nama kantor pusat. Apabila terbukti kantor perwakilan berwenang menutup kontrak penjualan atas nama kantor pusat atau melakukan delivery atas barang yang dijual oleh kantor pusat, maka atas ekspor oleh kantor pusat dikenakan PPh Pasal 15 final berdasarkan KMK No.634/KMK.04/1994.

Benang kusut diharapkan dapat terurai dengan mengembalikan berbagai macam bentuk dan sebutan kantor perwakilan asing tersebut kepada Subyek Pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, sebagai BUT atau WP LN Non BUT. Kriteria BUT secara konsekuen dikembalikan kepada artikel 5 P3B karena sekarang ini hampir seluruh Negara asal Rep-Off merupakan treaty partner. Apabila berbentuk BUT dan merupakan kantor perwakilan dagang maka berlaku tarif PPh Pasal 15 UU PPh jo KMK No.634/KMK.04/1994 jo SE-2/PJ.03/2008 dengan memperhitungkan tarif branch profit tax berdasarkan Pasal 10 P3B. Kejelasan dan ketegasan aturan di lapangan akan membantu menguraikan benang kusut tersebut.

Freight Forwarding, Antara Reimbursement dan DPP PPN Nilai Lain

International-Freight-ForwarderJasa freight forwarding, disebut juga sebagai Jasa pengurusan transportasi atau jasa ekspedisi muatan laut/udara/darat mempunyai masalah PPN yang klasik. Beranggapan hanya sebagai perantara shipper (pemilik barang) dan pemilik intermoda angkut, sehingga tidak mau apabila PPN dikenakan atas seluruh tagihan kepada shipper. Freight forwarder berkilah bahwa pembayaran kepada pihak ke-3 adalah reimbursement, numpang lewat saja, sehingga PPN seharusnya hanya dikenakan atas imbalan yang diterima.

Pada aturan-aturan awal DJP memberikan jalan tengah, sepanjang tagihan pihak ke-3 langsung atas nama shipper, walaupun melalui freight forwarder maka dianggap sebagai reimbursement sehingga tidak menjadi DPP PPN. Freight forwarder tidak boleh melakukan reinvoicing atas tagihan pihak ke-3 tersebut agar tidak dikenakan PPN. Namun hal ini sulit dilakukan di lapangan karena freight forwarder tidak mau diketahui berapa fee yang diterimanya. Asosiasi Freight forwarder mengusulkan agar DPP PPN menggunakan nilai lain (deemed) sebagaimana DPP PPN Jasa kurir sebesar 10%. Mereka berpendapat jasa freight forwarder mirip dengan jasa kurir, mengantar barang milik orang lain ke tempat tujuan.

Reimbursement

Reimbursement adalah penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak ke-2 kepada pihak ke-3. Pengertian reimbursement mensyaratkan posisi sebagai pihak ke-2 atau perantara. Oleh karena itu, awalnya syarat reimbursement adalah tagihan pihak ke-3 langsung atas nama shipper, sehingga jelas kedudukan freight forwarder hanyalah perantara atau sebagai pihak ke-2.

DPP PPN Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU PPN adalah Penggantian, yaitu nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan jasa kena pajak. Sejak awal reimbursement bukanlah DPP PPN. Disamping bertindak sebagai perantara yang berarti bukan pihak yang menyerahkan jasa, juga karena tidak memenuhi syarat ‘biaya yang diminta oleh pemberi jasa’. Ketika dokumen tagihan atas nama shipper maka jelas merupakan biaya yang harus ditanggung oleh shipper, bukan biaya bagi freight forwarder.

Syarat ‘tagihan pihak ke-3 langsung atas nama penerima jasa’ menjadi pedoman fiskus dalam mengkoreksi reimbursement. Namun dalam sengketa di Pengadilan Pajak teori akuntansi dipakai, sepanjang hanya masuk akun riil (neraca), tidak masuk akun nominal (R/L) maka merupakan ‘pass through’ alias numpang lewat sehingga tidak dikenakan PPN. Tidak masuk akun nominal secara akuntansi membuktikan bukan ‘biaya yang diminta oleh pemberi jasa’. Dengan demikian, reimbursement bukan DPP PPN merupakan general rule dalam UU PPN yang seharusnya berlaku untuk seluruh penyerahan kena pajak, tidak hanya untuk penyerahan jasa freight forwarding.

Pada tahun 2013, dengan diterbitkannya SE-33/PJ/2013, barulah diatur secara eksplisit syarat reimbursement ‘sepanjang hanya masuk akun riil (neraca), tidak masuk akun nominal (R/L)’. Namun SE ini juga membuat syarat reimbursement menjadi lebih complicated, yaitu akumulatif formal dokumen tagihan, formal kontrak reimbursement, dan tidak masuk akun R/L. Continue reading

Peristiwa Hukum dan Perbuatan Hukum Dalam UU Pajak

Pemahaman peraturan perpajakan tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman hukum, disamping ekonomi dan akuntansi tentunya. Memahami peraturan perpajakan pajak dengan mencoba memahami prinsip hukum sangatlah menarik dan dibutuhkan untuk menginterpretasi peraturan yang ada. Salah satunya adalah teori peristiwa dan perbuatan hukum dalam perspektif peraturan perpajakan.

Peristiwa hukum atau kejadian hukum atau rechtsfeit adalah semua kejadian atau fakta yang terjadi didalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum, atau peristiwa yang menimbulkan akibat hukum. Peristiwa hukum terjadi karena perbuatan subyek hukum atau bukan perbuatan subyek hukum.

Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subyek hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subyek hukum. Perbuatan hukum dibagi menjadi Perbuatan menurut hukum dan Perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam berbagai literatur, Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum dibagi lagi menjadi : karena keadaan (omstandingheid), misalnya kejadian alamiah siang malam, dan karena kejadian (gebeurtenis), misalnya kelahiran, kematian, atau daluarsa.

Peristiwa hukum merupakan hubungan kejadian/peristiwa/fakta dan akibat hukumnya. Dalam UU Pajak, peristiwa hukumnya adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh berakibat hukum terutang PPh. Penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Badan pada tahun 2008 berakibat hukum menjadi obyek pajak dan dikenakan PPh Badan dengan tarif progresif terendah 10% berdasarkan Pasal 17 UU No.17/2000, sedangkan untuk tahun pajak 2009 dikenakan tarif tunggal 28% berdasarkan UU No.36/2008. Ekspor jasa kena pajak pada tahun pajak 2009 berakibat hukum terutang PPN sebesar 10% berdasarkan Pasal 7 UU No.18/2000, sedangkan untuk ekspor jasa kena pajak pada tahun pajak 2011 berakibat hukum terutang PPN sebesar 0% berdasarkan Pasal 7 UU No.42/2009.

Kejadian/peristiwa/fakta dan akibat hukumnya dalam UU Pajak diatur dalam UU PPh dan UU PPN, atau apa yang kita kenal dengan aturan material. Aturan material mengatur tentang obyek, subyek, tarif, dan cara menghitungnya. Aturan material ini terikat waktu peristiwa hukum terjadi, dikenal sebagai tahun/masa pajak dalam UU Pajak. Pasal 1 UU KUP mendefinisikan Pajak Terutang sebagai pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak. Dengan demikian, aturan material pajak mengikuti hukum positif yang berlaku pada saat peristiwa hukum terjadi, yaitu tahun/masa pajaknya. Continue reading

BB, Server, dan Pajak

Fenomena BB, mulai dari 4 juta pelanggan di Indonesia dan pabrik di Malaysia, server, data centre, router, network aggregator (apalagi tuh?), sampai korban pingsan antri produk perdana, menarik perhatian saya melebihi ketertarikan untuk membeli BB itu sendiri (FYI I am android user 😀 ). Mengapa BB begitu kekeuh petekeuh enggan membangun infra struktur di Indonesia ? jawabannya bisa karena keamanan data atau kurang menguntungkan dari segi bisnis, salah satunya tax planning.

Dalam tax planning, membangun infra struktur di suatu Negara erat kaitannya dengan issue terbentuknya BUT di Negara tersebut. Prinsip P3B ‘No PE no tax’ bermakna tanpa Permanent Establishment (BUT) maka tidak ada hak pemajakan. Tidaklah heran apabila membangun infra struktur seperti server sangatlah hati-hati disikapi oleh perusahaan asing.

Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendorong bagi terbentuknya BUT di Indonesia, karena mewajibkan seluruh perusahaan jaringan dan telekomunikasi asing yang beroperasi di Indonesia untuk membangun data center dan server. Secara tidak langsung UU ITE ini mewajibkan perusahaan asing membentuk BUT di Indonesia.

Pasal 2 ayat (5) huruf p UU No. 36/2008 telah secara implisit mengatur bahwa komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis dalam kegiatan usaha melalui internet sebagai BUT. Sebenarnya ini bukanlah aturan baru, hanya bersifat penegasan atau contoh atas apa yg telah didefinisikan dalam Pasal 5 UU PPh sebelumnya, yaitu a fixed place of business through which the business of enterprise is wholly or partly carried on. Dengan demikian, walaupun belum disebutkan secara implisit dalam UU PPh sebelumnya namun bukan berarti server atau automated equipment internet lainya tidak menimbulkan BUT.

UU PPh sebagai aturan domestik akan dituduh memperluas taxbase dengan menganggap komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis dalam bisnis internet sebagai BUT, apakah aturan tersebut sejalan dengan P3B?

Pasal 5 P3B tidak secara spesifik menyatakan server menimbulkan BUT. Kita uji apakah Server, data centre, network aggregator atau peralatan otomatis internet lainnya dapat menimbulkan BUT berdasarkan OECD Commentary sebagai referensi pajak internasional yang widely accepted.

Tes pertama adalah a fixed place of busines. Apakah web site bisa menjadi BUT ?. Website adalah kombinasi software dan data. Tidak ada tangible property di sini, no premises means no a place of business. Tes lokasi utk menjadi BUT telah gagal.

Bagaimana dengan web hosting?. Sebuah website di-host pada sebuah server yg dikelola internet service provider (ISP) dan mendapatkan fee. Tangible property-nya ada, yaitu sebuah server. Tes kedua adalah apakah server tersebut dikuasai atau tersedia untuk dimanfaatkan (at the disposal of) perusahaan?. Kenyataannya server tersebut adalah milik atau dikuasai ISP. Mungkin ada ikatan kontrak antara ISP dan perusahaan, dan fee mungkin dibayar berdasarkan disk space yang digunakan. Namun tetap saja kontrak ini tidak menyebabkan server tersebut dikuasai atau dimiliki perusahaan, walaupun kontrak juga memberi wewenang perusahaan untuk menentukan di server mana website nya di-host. Dengan kata lain, selama server tersebut milik ISP, dioperasikan oleh ISP, dan server tersebut juga digunakan untuk me-host website pihak lain maka tidak menimbulkan BUT.

ISP secara teori dapat menjadi dependent agent dan menimbulkan BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (6) P3B. Namun pada prakteknya sangat kecil kemungkinannya karena ISP prinsipnya bukanlah sebuah agen. ISP menjalankan bisnis webhosting terhadap website milik pelanggan dan mendapatkan fee. ISP hanya menjalankan kegiatan keseharian bisnis miliknya. Disamping itu ISP biasanya tidak mewakili perusahaan dan tidak mempunyai wewenang menutup kontrak atas nama perusahaan.

Apabila server tersebut memang dikuasai atau dimiliki perusahaan, syarat lainnya (issue yang selalu diangkat OECD) adalah server tersebut haruslah performed an essential and significant part of business activity. Server tersebut tidak hanya bersifat penunjang atau persiapan (auxiliary or preparatory).  Kalau hanya bersifat penunjang/persiapan maka akan berlaku Pasal 5 ayat (4) P3B, tidak terbentuk BUT di negara sumber.

Beberapa kegiatan komputer/mesin otomatis yg menurut OECD hanya bersifat penunjang atau persiapan :  jaringan komunikasi  (seperti  jalur  telepon) antara customer dan  supplier, iklan, meneruskan informasi melalui mirror server utk tujuan keamanan dan efisiensi, mengumpulkan data atau informasi. Dengan demikian, akan timbul perdebatan apakah data centre atau network aggregator yang konon menurut ahli IT berfungsi mempercepat transmisi data hanya bersifat penunjang atau tidak terhadap layanan BIS dan BBM.

Apabila data centre atau network aggregator diangap bukan sekedar penunjang sehingga menimbulkan BUT, issue lainnya adalah attribution of income. Fungsi apa yang dijalankan data centre atau network aggregator dan berapa kontribusinya terhadap layanan BIS dan BBM yang selama ini dilakukan oleh server di negara induknya. Tidak serta merta karena ada server di Indonesia maka seluruh penghasilan dari layanan BIS dan BBM dikenakan pajak di Indonesia.

Ternyata, perjalanan untuk mendapatkan hak pemajakan masih panjang. Langkah pertama, bangun server di Indonesia !! (tetep).

Dimuat di Berita Pajak edisi Januari 2012

Perusahaan Asing Sebagai WP Badan Dalam Negeri

Agak telat baca Peraturan Dirjen Pajak (PER DJP) No 43/PJ/2011 tentang Penentuan Subyek pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar negeri. Itu pun terbaca setelah ada teman yang tanya tentang Per ini. Maklum sekarang hanya berkecimpung  di dunia administrasi, tidak lagi sensitif dengan perkembangan aturan.

Kesan pertama setelah membaca Per ini adalah adanya kemajuan DJP dalam menjalankan wewenang regelling-nya.  Selama ini tidak didefinisikan dengan jelas pengertian Subyek Pajak Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh. Dalam UU PPh disebutkan Subyek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Dalam penjelasannya dijelaskan ‘cukup jelas’  🙂 .

Dalam tulisan saya 3 tahun yang lalu,  Place of Effective Management, saya menguraikan bahwa ‘didirikan’  bermakna  ‘incorporated in’. Form nya adalah akta pendirian yang menunjukkan di negara mana badan didirikan dan tunduk dalam hukum positif. Selama ini akta inilah yang diminta dalam pembuatan NPWP.

Sedangkan substance-nya adalah ‘bertempat kedudukan’, yaitu sebenarnya di negara mana perusahaan tersebut dikendalikan (effective management). Hal ini sesuai dengan Pasal 4 P3B dan kriterianya telah diuraikan dalam Pasal 15 PER DJP No. 43/PJ/2011. Walaupun suatu perusahaan mempunyai akta pendirian dari negara Panama (tax haven country) namun dapat dibuktikan bahwa perusahaan tersebut dikendalikan atau keputusan strategis arah perusahaan diambil di Indonesia, maka berdasarkan artikel 4 P3B atau Pasal 2 ayat (3) UU PPh  dapat dianggap sebagai resident Indonesia.

Prinsip Substance over form rule memerlukan analisis yang dalam. Seperti halnya koreksi transfer pricing (juga menerapkan prinsip Substance over form rule) yang memerlukan analisis kesebandingan dalam menghitung arm’s length price, penentuan kedudukan (place of effective management) WP badan  juga memerlukan analisi bukti/data. Bukti/data yang diperlukan telah diuraikan dalam Pasal 15 PER DJP No. 43/PJ/2011, yaitu : keberadaan kantor pusat, tempat kedudukan pusat administrasi dan/atau pusat keuangan, tempat kantor pimpinan yang melakukan pengendalian, tempat pertemuan pengurus untuk membuat keputusan strategis, atau tempat tinggal/domisili pengurus.

Potensi dispute Pasal 15 PER DJP ini adalah kriteria tempat tinggal/domisili pengurus. Tidak dapat diinterpretasikan bahwa apabila diketahui salah satu direksinya bermukim di Indonesia maka perusahaan asing tersebut serta merta ditetapkan sebagai resident Indonesia. Jika bisa demikian, World Bank akan ditetapkan sebagai resident Indonesia karena Ibu Sri Mulyani as Managing Director masih berdomisili di Indonesia  🙂 .

Jika ditemukan perusahaan asing berakta pendirian British Virginia Island, bernama Semoga profitable Ltd dan seluruh pengurusnya, Drs. Supaijo dan Ir. Agus, berdomisili di Kebumen, DJP dengan senang hati menetapkannya sebagai WP Badan Dalam Negeri.

Menggugat Keputusan Pajak

Administrasi pajak merupakan domain Ditjen Pajak (DJP). Dalam menjalankan fungsi eksekutif tersebut DJP mengeluarkan berbagai produk administrasi, dari berupa surat korespondensi sampai dengan surat paksa yang setara dengan putusan hakim (grosse). Produk-produk tersebut tentu saja tidak semuanya memuaskan rasa keadilan Wajib Pajak. Nah, untuk memenuhi rasa keadilan tersebut diaturlah upaya hukum dalam UU KUP, salah satunya adalah gugatan.

Produk hukum yang menjadi obyek gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU huruf a, b, dan d sudah jelas disebut, yaitu: Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, SKP,dan SK Keberatan. Namun tidak demikian dengan Obyek gugatan huruf c yang hanya menyebutkan ‘keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan’.

Obyek gugatan huruf c ini sering kali menimbulkan dispute dan dianggap ‘keranjang sampah’ karena tidak spesifik menyebutkan jenis keputusan yang dapat digugat. Tidak dijelaskan juga apa yang dimaksud dengan keputusan dalam UU KUP ini. Continue reading

‘Kekhilafan atau bukan karena kesalahannya’

Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP merupakan upaya hukum dengan alasan dasar (posita) yang jelas, yaitu : kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak, dan tuntutan (petitum) : mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi. Dirjen Pajak akan memenuhi petitum Wajib Pajak apabila berdasarkan penelitian alasan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dapat dipertanggungjawabkan.

Wewenang atributif Dirjen Pajak untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi diberikan hanya karena alasan kekhilafan atau bukan kesalahan Wajib Pajak. Oleh karena itu, upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP oleh Wajib Pajak dengan alasan selain kekhilafan atau bukan kesalahan Wajib Pajak tidak dapat diterima oleh Dirjen Pajak.

Eksepsi juga dapat dilakukan pada sidang gugatan atas Keputusan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP di Pengadilan Pajak, bila posita surat gugatan bukan kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. Tergugat (DJP) dapat meminta hakim agar tidak menerima gugatan Penggugat.

Unsur kekhilafan tersebut amat sangat sulit untuk diukur seberapa jauh Wajib Pajak benar-benar khilaf dan bagaimana pembuktian khilaf tersebut. Akhirnya, pertimbangan subyektivitas kepala kantor yang menentukan diterima/tidaknya permohonan Wajib Pajak.

Wewenang atributif dan prerogatif Dirjen Pajak

Pengertian kekhilafan secara implisit disebutkan dalam Penjelasan  Pasal 36 ayat (1) UU KUP, yang antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini untuk melindungi Wajib Pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan. Wajib Pajak gagal dalam menjalankan kewajiban administrasinya secara self-assesment akibat ketidakpahaman atau ketidaktahuan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.

Wewenang Pasal 36 ayat (1) UU KUP pada hakikatnya adalah wewenang untuk memberikan atau memulihkan rasa keadilan Wajib Pajak yang karena suatu sebab menjadi terganggu. Penjelasan  Pasal 36 ayat (1) antara lain menyebutkan bahwa ketentuan ini untuk melindungi Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Berdasarkan penjelasan tersebut, wewenang yang diberikan adalah wewenang untuk menilai apakah dari sisi moral Wajib Pajak dapat diminta pertanggungjawaban atau tidak, sehingga pada hakikatnya merupakan kewenangan seorang hakim.

Dengan demikian, wewenang untuk menilai kekhilafan Wajib Pajak dan berapa besar pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi merupakan wewenang atributif dan prerogatif Dirjen Pajak yang diberikan Undang-undang.

Unsur bukan kesalahannya berarti murni pada kesalahan yang dilakukan oleh pihak DJP dalam mengenakan sanksi administrasi kepada Wajib Pajak yang menyebabkan Wajib Pajak terbebani.

Pengertian ‘bukan karena kesalahannya’ secara implisit disebutkan dalam Penjelasan  Pasal 36 ayat (1) UU KUP, yang antara lain menyebutkan bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak.

Dirjen Pajak diberikan ruang untuk mengkoreksi sanksi administrasi yang tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak. Penghapusan atau besarnya pengurangan sanksi administrasi tergantung hasil koreksi atas ketidaktelitian pengenaan sanksi administrasi.

Perlu dipertegas perbedaan antara wewenang mengkoreksi pengenaan sanksi administrasi yang tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dengan pembetulan akibat kekeliruan penerapan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 16 UU KUP, karena hukum tidak bersifat oportunistik.

Tax holiday dan tax allowance

Menteri Keuangan telah mengumumkan pemberian insentif tax holiday ke 5 sektor, yaitu industri logam dasar, industri pengilangan minyak bumi atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi gas alam, industri permesinan, industri di bidang sumber daya terbarukan dan industri peralatan telekomunikasi.

Insentif tax holiday diberikan dalam bentuk pembebasan PPh badan selama minimal 5 tahun sejak operasi komersil. Diberikan kepada investor yang memenuhi investasi Rp 1 triliun dan dibidang yang pionir, bahkan insentif ini akan berlaku bagi investor yang sudah berinvestasi satu tahun lalu.

Sebelumnya pemerintah (Menkeu) juga berjanji akan  memperluas insentif tax allowance dengan merevisi PP No.62 tahun 2008. Dari sebanyak 215 sektor usaha yang diusulkan mendapat insentif pengurangan pajak atau tax allowance, pemerintah hanya menyetujui 128 bidang usaha.

Pada tax allowance fasilitas PPh yang diberikan adalah pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi yang dibebankan selama 6 tahun (masing-masing sebesar 5% per tahun), penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10%, dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

Sebenarnya apa sih tax holiday atau tax allowance itu ?

Used in the hopes of increasing the gross domestic product (GDP) in developing countries, tax holidays are a way in which governments attract foreign investors. Tax holidays are often put in place in particular industries to help promote growth. (www.investopedia.com)

A tax holiday is a temporary reduction or elimination of a tax. Programs may be referred to as tax abatements, tax subsidies, tax holidays, or tax reduction programs. Governments usually create tax holidays as incentives for business investment. In developing countries, governments sometimes reduce or eliminate corporate taxes for the purpose of attracting Foreign Direct Investment or stimulating growth in selected industries. (http://en.wikipedia.org/wiki/Tax_holiday)

Berdasarkan 2 sumber di atas, kata kunci tax holiday adalah  : reduction or elimination of a tax, temporary, as incentives for business investment. Bila demikian, tax allowance yang selalu diartikan oleh media massa nasional sebagai keringanan pajak atau tax reduction sebenarnya merupakan bagian dari tax holiday itu sendiri.

Tax allowance diterjemahkan sebagai keringanan/pengurangan pajak, dan tax holiday sebagai pembebasan pajak atau tax exemption. Dunia internasional menggunakan istilah tax holiday, termasuk untuk insentif keringanan pajak. Indonesia menggunakan istilah tax allowance mungkin karena alergi dengan kata tax holiday yang dianggap sebagai pembebasan pajak untuk investor asing yang sudah diharamkan oleh UU KUP baru.

Di negara maju seperti Amerika Serikat tax holiday bertujuan untuk ‘menghangatkan’ ekomoni, yaitu mendorong sisi demand konsumen sehingga tercipta creeping inflation. Obyeknya adalah sales tax (semacam PPN di perpajakan kita). Di setiap negara bagian Amerika Serikat biasanya ada program diskon sales tax di musim-musim tertentu. Pada musim tahun ajaran baru diadakan program diskon sales tax 10% untuk pembelian buku-buku, tas, seragam sekolah. Beda dengan di negara kita, yang ada adalah perang diskon harga barang di setiap pusat perbelanjaan, sedangkan PPN tetap 10% dari harga jual barang.

Di negara berkembang tax holiday merupakan insentif untuk direct foreign investment. Stimulus diberikan agar pemilik modal asing mau menanamkan modal besarnya pada sektor atau wilayah tertentu yang dipandang pemerintah tidak feasible secara bisnis. Tanpa itu, investor enggan menanamkan modalnya.

Sesuai dengan tujuannya, tidak ada yang salah dengan tax holiday. Pajak juga berfungsi sebagai regulerend, mendorong kebijakan pemerintah di sektor lainnya. Diharapkan insentif pajak tersebut dapat menjadi multiflier effect bagi pertimbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya menjadi tax base juga.

Namun demikian, perlu dikritisi beberapa hal dalam mengeluarkan kebijakan tax holiday. Pertama, tepat sasaran. Tax holiday bukanlah suatu perang diskon dengan negara lain hanya karena tidak mau kalah angka-angka statistik invenstasi asing dengan negara lain.

 Kepala BKPM optimis target direct investment  akan tercapai dengan adanya Tax holiday. Tiga PMA dipastikan menunggu tax holiday ini untuk berinvestasi di Indonesia, salah satunya POSCO, perusahaan baja Korea Selatan. Mereka mengancam akan membatalkan investasinya di Indonesia bila kebijakan insentif pajak ini tidak juga terealisasi sampai dengan pertengahan tahun ini (detik.com).

Para pejabat lain di negeri ini juga berlomba-lomba meminta insentif pajak sebagai kebijakannya. Menteri Perdagangan pernah meminta penghapusan pajak eskpor CPO, Menteri Perikanan/Kelautan meminta penghapusan pajak impor/pembelian kapal, Menteri Perhubungan meminta keringanan pajak untuk perusahaan pelayaran dalam negeri (pemegang SIUPAL), BP Migas meminta pembebasan PPN Impor barang masterlist oleh KPS, Menteri Perindustrian meminta insentif PPN dan PPh 22 impor bahan mentah industri A, Menteri Pertanian meminta pembebasan PPN atas produk B, , Menteri C meminta pembebasan pajak untuk produk D, ……

Pajak bukan hanya dipandang sebagai beban oleh pengusaha, namun juga oleh pejabat negeri ini yang nota bene merupakan pemerintah. Kebijakan meminta fasilitas pajak merupakan kebijakan yang populis dan business friendly. Seolah-olah tidak ada lagi kebijakan atau solusi yang kreatif dan inovatif.

Jangan sampai insentif pajak tersebut menjadi ‘diskon’ bangsa ini kepada konglomerasi (asing) pemilik modal besar yang nyata-nyata menikmati sumber daya bangsa dengan pengorbanan seminimal mungkin. Prinsip ekonomi pasti diterapkan. multiflier effect atau trickle down effect pada jaman orba dapat menjadi janji manis kepada bangsa ini yang akan dilupakan setelah bisnis selesai.

Yang diperlukan adalah kualitas investasi asing untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui aktivitas ekonomi. Ingat, pajak adalah hak bangsa ini dan juga merupakan harga diri bangsa bila melibatkan bangsa lain. Tax holiday haruslah opsi kebijakan terakhir.

Seorang manajer toko yang handal akan memandang diskon harga merupakan opsi terakhir untuk menghadapi persaingan pasar, setelah melakukan peningkatan kualitas barang, pelayanan, dan kenyamanan konsumen dianggap tidak membawa hasil. Demikian juga pemerintah seharusnya memandang tax holiday sebagai kebijakan terakhir. Indonesia sebagai capital importing country memiliki competitive advantage, yaitu sumber daya alam yang melimpah dan upah murah. Ditambah dengan kebijakan untuk menciptakan kepastian hukum, stabilitas politik, menekan high cost economy (istilah awamnya pungli, KKN), dan debirokratisasi yang menghambat bisnis, investor akan berbondong-bondong datang ke negeri ini tanpa iming-iming tax holiday.

Kedua, dasar hukum tax holiday haruslah jelas. Pajak dipungut harus berdasarkan UU, demikian juga insentif tax holiday haruslah diatur oleh setara UU. Paling tidak ada regelling dari UU kepada pemerintah (berbentuk PP atau PMK) untuk mengatur tax holiday ini.

Dalam salah satu situs berita bapak Agus Marto (Menkeu) pernah menyatakan bahwa tax holiday tidak dikenal di sistem perpajakan kita sekarang ini. Namun beliau akan mempelajari apakah ada celah untuk menerbitkan fasilitas ini.

Dasar hukum keringanan atau pengurangan pajak (dikenal sebagai tax allowance) sudah jelas, yaitu Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Kegiatan Penanaman Modal di Sektor usaha Tertentu dan Wilayah Tertentu. Revisi PP No. 62/2008 akan segera menyusul untuk memperluas cakupan sektor industri dan wilayah.

Yang menjadi masalah adalah dasar hukum pembebasan pajak (dikenal sebagai tax holiday). Selama ini selalu disebut-sebut tax holiday regime telah berakhir dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 1983 tentang PPh yang mulai berlaku efektif 1 Januari 1984.

Rezim tax holiday dulu pernah ada dalam sejarah perpajakan Indonesia dengan diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pada Pasal 15 dan 16 UU No. 1/1967 memang diatur tentang ‘pembebasan padjak perseroan’ dan ‘keringanan padjak perseroan’. Namun UU No. 11/1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 1/1967 mengubah Pasal 15 dan Pasal 16 dengan tidak mencamtumkan lagi ‘pembebasan padjak perseroan’. UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal kembali membuka fasilitas pembebasan dan pengurangan pajak, dengan wewenang regelling oleh Menkeu (berbentuk PMK).

Pasal 18 ayat (5) UU No. 25/2007 inilah yang dianggap sebagai dasar hukum pembebasan pajak. Apakah UU tentang penanaman modal dapat menjadi dasar hukum pembebasan pajak yang tidak diatur pada UU PPh?

UU PPh bersifat khusus tentang pajak (specialis) dan UU Penanaman Modal bersifat umum, sehingga berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali, UU PPh akan me-overrule aturan pajak yang ada di UU Penaman Modal.

Ketika UU PPh yang bersifat spesialis hanya memberikan fasilitas pengurangan/keringanan PPh (tax allowance) maka berarti UU PPh tidak memberikan ruang kepada pembebasan pajak (tax holiday). General rule-nya laba usaha dikenakan PPh berdasarkan Pasal 4 UU PPh, exceptional-nya perusahaan di sektor industri dan wilayah tertentu diberikan keringanan pajak (tax allowance) berdasarkan Pasal 31A UU PPh. Tidak ada Exceptional untuk pembebasan pajak (tax holiday). Sepanjang tidak ada Exceptional maka General rule akan berlaku, bahwa laba perusahaan dikenakan PPh atau tidak ada fasilitas pembebasan pajak. Dengan demikian, UU Penanaman Modal tidak dapat menjadi dasar hukum pembebasan pajak (tax holiday) yang tidak diberikan oleh UU PPh.

Ternyata tax holiday ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan.