Untuk menghadapi persaingan global maka perusahaan multinasional dituntut agar terus meningkatkan efektivitas. Struktur usaha merupakan kunci efektifitas bisnis supaya tetap bertahan di persaingan pasar. Inilah mengapa dalam dekade terakhir perusahaan multinasional mempunyai perhatian yang besar pada struktur bisnis dan upaya untuk melakukan restrukturisasi usaha.
Ketika menghadapai kebangkrutan pada tahun 2009 General Motor Co. (GM) melakukan restrukturisasi dengan menghentikan produksi Pontiac, Hummer, dan merampingkan lini produksi Opel, subsidiary-nya di Jerman. GM kembali listing pada tahun 2010 sebagai perusahan baru dengan mendapatkan fasilitas bail-out dari pemerintas AS dan pinjaman dari pemerintah Jerman. GM pada tahun 2010 kembali memperoleh laba dan pada tahun 2011 kembali menjadi nomor satu untuk penjualan di seluruh dunia.
Contoh sukses restrukturisasi usaha di Indonesia baru-baru ini adalah konsolidasi (regrouping) perusahaan semen BUMN. Pada akhir 2012 pemerintah selaku pemegang saham mayoritas mengubah PT Semen Gresik (Persero), Tbk. menjadi PT Semen Indonesia sebagai strategic holding group perusahaan semen BUMN. PT Semen Indonesia mengakuisisi Thang Long Cement Company (TLCC), perusahaan semen terkemuka Vietnam, sekaligus menjadikan perusahaan sebagai BUMN pertama yang berstatus multinational enterprise.
Restrukturisasi usaha berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan adalah hal yang lumrah dalam praktek bisnis global. Apabila pihak yang terlibat adalah perusahaan afiliasi (associated party) lintas batas negara maka kewajarannya (arm’s length business restructuring) menjadi perhatian otoritas pajak. Tujuan restrukturisasi untuk menjaga efektivitas usaha salah satunya adalah dengan menekan beban pajak grup usaha melalui transfer pricing.
Restrukturisasi usaha dalam sudut pandang transfer pricing didefinisikan pada Chapter IX OECD Transfer Pricing Guideline sebagai ‘the cross-border redeployment by multinational enterprise of functions, assets and/or risks’. Restrukturisasi bermakna terjadinya transfer functions, assets dan risks antara perusahaan afiliasi. Transfer analytical functions tersebut mengakibatkan terjadinya downsizing pada salah satu perusahaan afiliasi dan terjadinya realokasi profit potential. The more valuable the functions, assets and risks, the higher the profits it should expect.
Model Bisnis Untuk Transfer Pricing
Downsizing perusahaan afiliasi melalui transfer assets, functions dan risks dapat diketahui melalui analisa model bisnis sebelum dan setelah restrukturisasi. Model bisnis untuk tujuan transfer pricing pada umumnya berupa konversi afiliasi lokal dari ‘fully fledge’ menjadi ‘limited risk’.
Restrukturisasi dapat berupa konversi perusahaan afiliasi lokal dari full-fledge distributor menjadi limited risk distributor atau commissionaires. Limited risk distributor mirip dengan full-fledge distributor, memiliki inventory risk dan melakukan penjualan atas nama sendiri namun beberapa risiko dibatasi. Misalkan kegiatan marketing berdasarkan instruksi/riset dari prinsipal di luar negeri. Sedangkan commissionaires tidak memiliki inventory risk dan menjual produk atas nama prinsipal.
Model bisnis lainnya adalah konversi full–fledged manufacturer menjadi contract manufacturer atau toll manufacturer. Fully fledged manufacturer melakukan seluruh fungsi produksi dan risiko yang melekat (inventory risk, market risk, warranty risk), serta memiliki intangible property (IP). Sedangkan contract manufacturer menanggung risiko terbatas, yaitu inventory risk dan quality control tanpa memiliki IP. Toll Manufacturer lebih tepat dikatakan sebagai penyedia jasa yang tidak menanggung inventory risk dan tidak memiliki IP.
Sentralisasi intangible property afiliasi lokal ke prinsipal/afiliasi asing juga merupakan model bisnis untuk menekan laba perusahaan afiliasi lokal. IP yang timbul pada perusahaan afiliasi lokal, dapat terjadi karena riset marketing pasar, penguasaan informasi berupa customer/supplier list, atau pengalaman manufacturing, ditransfer ke prinsipal. Dengan demikian, profit potential yang menyertai intangibles afiliasi lokal tersebut terpusatkan di prinsipal.
Lazimnya transfer terjadi dari perusahaan afiliasi lokal ke prinsipal atau perusahaan afiliasi berskala regional/internasional. Namun pada saat downturn ekonomi, di saat prinsipal mengalami kerugian dapat terjadi reverse restructuring, yaitu transfer intangible assets, functions dan risks dari prinsipal ke afiliasi lokal untuk membagi kerugian. Prinsipnya tetap sama yaitu terjadi transfer atau downsizing intangible assets functions dan risks.
Isu Utama Transfer Pricing
Aspek transfer pricing pada Restrukturisasi Bisnis di bahas pada Chapter IX OECD TP Guidelines (TPG). Dalam sudut pandang transfer pricing, restrukturisasi bisnis dilakukan dengan me-downsize functions, assets and risks perusahaan afiliasi yang memiliki beban pajak tinggi ke perusahaan afiliasi di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah atau mendapat fasilitas pajak sehingga beban pajak grup usaha secara keseluruhan dapat diminimalisasi.
Sesuai dengan prinsip arm’s length price pada artikel 9 OECD dan UN Model Tax Convention, pertanyaan utama nya adalah : “are there conditions made or imposed in the restructuring which differ from conditions that would be made between independent enterprises?”. Pada kondisi Arm’s length profit, bagian laba perusahaan afiliasi ditentukan sebagaimana perusahaan afiliasi tersebut beroperasi secara independen. Dengan demikian, kondisi yang diterima perusahaan afiliasi ketika restrukturisasi bisnis dan setelah restrukturisasi bisnis haruslah sama dengan kondisi yang diterima antar perusahaan independen. Apakah perusahaan independent akan mau di-downsized?, transfer apa yang terjadi? bila setuju secara bisnis apa yang seharusnya diterima?.
Pada Chapter IX OECD TPG terdapat beberapa isu utama transfer pricing, di antaranya adalah transfer risiko dan arm’s length compensation.
Transfer risiko
Dalam restrukturisasi bisnis, transfer risiko merupakan aspek yang paling penting. Downsizing perusahaan afiliasi lokal paling mudah dilakukan dengan mentransfer risiko karena risiko paling mudah (diklaim) dipindahkan dibandingkan functions atau assets. Risiko juga paling sulit diidentifikasi sehingga dalam kasus transfer pricing, transfer risiko akan menjadi isu perdebatan. Asumsinya adalah risiko yang meningkat akan diikuti dengan profit potential yang meningkat pula (no risks no gains).
Contractual Terms
Pengujian kontrak adalah langkah awal untuk mengidentifikasi kepada dan dari siapa transfer risiko. Sangatlah mudah di antara perusahaan afiliasi untuk mengatur secara tertulis kepada siapa risiko ditransfer, karena mereka mempunyai kepentingan yang sama dan dalam penguasaan yang sama. Oleh karena itu, pengujian kontrak dilakukan dengan membandingkan aktivitas nyata perusahaan afiliasi dengan risiko yang diatur dalam kontrak sesuai dengan prinsip substance over form rule.
Sebagai contoh, full-fledged distributor menanggung risiko bad debt menurut kontrak. Namun ternyata pihak ke-3 atau supplier akan memberikan kompensasi setiap klaim yang tidak terbayar, atau harga jual berdasarkan resale price dan pendapatan distributor ditentukan berdasarkan komisi atas penjualan kas basis. Fakta di lapangan menunjukkan distributor yang ditunjuk dalam kontrak menanggung risiko ternyata tidak menanggung risiko.
Arm’s length risks allocation
Prinsipnya sama dengan arm’s length price, apabila terbukti harga yang sama berlaku pada transaksi antara pihak independen maka harga tersebut telah memenuhi kewajaran. Demikian pula dengan kewajaran transfer risiko, apabila terbukti ada pembanding transfer risiko sejenis dilakukan antar pihak-pihak independen maka dapat dikatakan transfer risiko tersebut wajar.
Pada prakteknya sangatlah sulit mencari pembanding risiko. Apabila tidak terdapat data pembanding otoritas pajak tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa transfer risiko tidak arm’s length. Pengujian kewajaran transfer risiko dilakukan berdasarkan pertimbangan apakah dalam kondisi sebanding transfer risiko tersebut juga terjadi antar pihak independen. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pihak mana yang memiliki kontrol dan memiliki kemampuan finansial untuk menanggung risiko.
Pengertian ‘control’ menurut Chapter IX OECD TPG adalah kapasitas untuk membuat keputusan dalam menanggung risiko (decision to put the capital at risk) dan keputusan bagaimana me-manage risiko tersebut. Kontrol tidak berarti melakukan pengawasan dan kegiatan administrasi rutin karena fungsi ini dapat di-outsourcing-kan. Penanggung risiko akan mendapatkan outcome dari kegiatan monitoring dan administrasi rutin tersebut. Dengan demikian, pihak lain yang melaksanakan fungsi monitoring dan adminsitrasi tersebut tidak dapat dikatakan telah menerima transfer risiko. Risiko tetap di tangan penerima outcome kegiatan tersebut.
Misalkan perusahaan contract manufacturer terikat kontrak dengan prinsipal untuk menghasilkan produk atas nama prinsipal dengan menggunakan teknologi prinsipal. Prinsipal menjamin pembelian seluruh produk yang dihasilkan dengan spesifikasi teknis, rencana produksi dan jadwal serta volume pengiriman yang telah ditetapkan oleh prinsipal. Walaupun kegiatan produksi dilakukan oleh contract manufacturer, prinsipal adalah pihak yang membuat keputusan untuk mengontrol risiko pasar dan persediaan. Kapasitas yang dimiliki prinsipal adalah keputusan untuk membuat kontrak (terminasi) dengan contract manufacturer, menentukan jenis, volume, waktu produksi dan pengiriman barang. Prinsipal akan menerima laporan harian produksi atau pengiriman barang termasuk quality control. Sedangkan risiko yang dimiliki contract manufacturer sebatas risiko operasional, yaitu risiko kehilangan klien atau risiko membayar denda akibat mutu produksi tidak sesuai quality control.
Faktor lainnya yang relevan sebagai penentu kewajaran transfer risiko adalah kemampuan finansial untuk menanggung risiko. Penanggung risiko haruslah mampu menanggung konsekuensi risiko atau memiliki mekanisme untuk melindungi risiko. Kemampuan finansial dalam menanggung risiko bukan berarti mampu membayar seluruh risiko yang terjadi, tetapi kemampuan dalam memproteksi diri dari konsekuensi risiko yang terjadi, karena risiko dapat dimitigasi atau dilindungi (asuransi).
Sebagai contoh, sebuah perusahaan dealer mobil bertanggung jawab atas klaim produk yang dijual kepada pelanggan. Berdasarkan kontrak, sebuah perusahan afilasi akan me-reimburse semua klaim pelanggan yang ditanggung oleh dealer. Dengan demikian, menurut kontrak risiko ditransfer dari dealer kepada perusahaan afiliasinya. Namun berdasarkan pengujian, diketahui perusahaan afilasi tersebut tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar reimbursemen kepada dealer atau tidak memiliki mekanisme untuk melindungi risiko yang terjadi. Pada kasus ini dapat dikatakan secara efektif dealer tetap menanggung risiko (tidak terjadi transfer risiko) atau perusahaan induk mengambil alih risiko tersebut (bukan perusahaan afilasi sebagaimana disebut dalam kontrak) sehingga tetap terjadi transfer risiko dari dealer tersebut.
Arm’s Length Compensation
Transfer risiko dalam aspek transfer pricing, sebagaimana analytical function lainnya (functions performed dan assets used), bermakna terjadi transfer profit potential yang mengikutinya. Menurut Chapter IX OECD TPG Arm’s length principle tidak mensyaratkan adanya kompensasi hanya akibat menurunnya ekspekstasi laba di masa yang akan datang (profit potential). Kompensasi akan arm’s length apabila terjadi transfer assets (right) atau terminasi/renegoisasi kontrak.
Untuk mengidentifikasi apakah kompensasi saat restrukturisasi adalah arm’s length perlu terlebih dahulu memahami restrukturisasi bisnis itu sendiri, yaitu: perubahan apa yang terjadi setelah restrukturisasi bisnis, alasan bisnis dilakukannya restrukturisasi, pilihan realistis lainnya yang tersedia pada kondisi arm’s length.
Sebagai ilustrasi, distributor lokal dihadapkan dengan pilihan kebijakan restrukturisasi grup usahanya. Dengan interval net profit margin antara -1% s/d +7% (ketidakpastian yang tinggi) afiliasi lokal dihadapkan pada pilihan direstrukturisasi dengan mendapatkan profit stabil +2%. Apakah pilihan direstrukturiasi menjadi pilihan yang arm’s length?, apakah perusahaan independen mau direstrukturisasi dengan kondisi tersebut?. Jawabannya adalah ‘sangat tergantung’, tergantung pada return yang diharapkan, risiko yang ditanggung, opsi realistis yang tersedia, dan kompensasi yang mungkin diterima. Lain halnya jika distributor dengan ekspekstasi laba +5% s/d +10% (ketidakpastian yang tinggi) direstrukturisasi sehingga mendapatkan laba stabil hanya sebesar +2% pertahun. Dapat dipastikan restrukturisasi ini tidak arm’s length, karena perusahaan independen tidak akan mau dalam kondisi ini melakukan alokasi risiko dan profit potential yang menyertainya tanpa mendapat kompensasi yang wajar.
Intangible Assets
Dalam transfer pricing, transfer assets (rights) menjadi perhatian utama di samping transfer risiko. Transfer risiko hanya berarti transfer profit potential, namun transfer assets di samping berarti transfer profit potential juga diikuti dengan pembayaran kompensasi. Identifikasi transfer assets (rights) dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memahami model bisnis sebelum dan sesudah restrukturisasi..
Transfer intangible assets biasanya dilakukan dengan mensentralisasi kepemilikan intangible assets perusahaan lokal kepada perusahaan afiliasi asing. Ketika perusahaan afiliasi lokal di-downsized menjadi ‘limited risk, limited intangibles, low remuneration’, pertanyaan yang muncul adalah apakah downsizing ini menimbulkan transfer IP lokal seperti customer list yang melekat pada kegiatan bisnis lokal.
Transfer IP menimbulkan masalah tidak hanya mengenai identifikasi IP, juga bagaimana menilai IP tersebut. Identifikasi IP akan sulit karena tidak semua IP dilindungi oleh hukum, terdaftar dan dicatat dalam pembukuan. Formula rahasia minuman Coca-Cola tidak dipatenkan dan tidak dicatat dalam pembukuan, namun jelas secret recipe tersebut adalah IP milik Coca-Cola Company.
Definisi IP menurut OECD TPG sangat luas, tidak linear dengan pengertian IP dalam Pasal 12 P3B dan tidak sama dengan pengertian IP dalam akuntansi. Termasuk dalam pengertian IP adalah customer list, jalur distribusi, nama yang unik, symbol atau gambar.
Pada kasus downsizing full-fledged distributor menjadi limited risk distributor, penting untuk menganalisa apakah distributor lokal tersebut selama ini telah mengembangkan local marketing intangibles. Apabila benar ada, apa nature IP tersebut?, apakah IP tersebut ditransfer ke perusahaan afiliasi asing?. Arm’s length principle diterapkan untuk menentukan apakah seharusnya ada dan berapa nilai kompensasi atas transfer IP tersebut.
Apabila IP afilasi lokal telah teridentifikasi dan ternyata tidak ditransfer ke afilasi asing maka IP tersebut akan diperhitungkan dalam analytical function afiliasi lokal setelah restrukturisasi. Identifikasi IP afiliasi lokal ini juga mempengaruhi pemilihan metode transfer pricing yang tepat untuk transaksi afiliasi setelah restrukturisasi dan remunerasi yang diterima dari penggunaan IP lokal oleh afiliasi asing selama periode umur IP tersebut (OECD TPG mendorong penggunaan metode profit split untuk transaksi yang melibatkan IP di kedua belah pihak).
Dalam restrukturisasi bisnis, transfer assets dapat juga diikuti dengan transfer kemampuan untuk melakukan fungsi tertentu dan risiko yang melekat. Transfer mesin dapat berarti adanya transfer unit bisnis (function) manufacturing di mana dapat melibatkan adanya transfer know-how karena adanya transfer skilled labor atau key-employee. Transfer unit bisnis ini harus dilihat secara utuh, bukan sekedar transfer assets atau functions yang dianalisa secara parsial.
Contract Termination
Kompensasi dalam kondisi arm’s length juga dapat terjadi ketika terminasi kontrak. Ketika hubungan bisnis yang ada menurut kontrak diterminasi atau di-renegoisasi tentu ada pihak yang ‘dirugikan’ karena harus menanggung biaya restrukturisasi (write-off asset, terminasi kontrak pegawai), biaya rekonversi bisnis, dan kehilangan profit potential. Misalkan afiliasi lokal diubah dari full-fledged distributor menjadi low-risk distributor, atau dari full-fledged manufacturer menjadi toll-manufacturer. Dalam situasi ini timbul pertanyaan, pada kondisi arm’s length apakah perusahaan independen akan setuju bahwa perusahaan yang direstrukturisasi akan mendapatkan pembayaran kompensasi (dan berapa nilainya).
Tidak semua terminasi atau renegoisasi kontrak akan menimbulkan kompensasi. Perlu dianalisa kondisi saat restrukturisasi terjadi terutama asset (rights) dan pilihan realistis yang dapat dipilih. Kondisi yang perlu diperhatikan adalah apakah dalam kontrak terdapat klausul tertulis tentang kompensasi, apakah hukum positif mengatur kompensasi atas terminasi kontrak, dan apakah dalam kondisi yang sama perusahaan independen akan mau membayar kompensasi.
Perusahaan afiliasi yang ter-downsized mungkin melepaskan hak kompensasinya dengan harapan mendapatkan remunerasi lebih besar setelah restrukturisasi. Misalkan perusahaan afiliasi lokal yang melakukan fungsi manufacturing dan trading dipecah menjadi hanya melakukan manufacturing. Afiliasi lokal ini mempunyai pilihan mendapatkan kompensasi pada saat restrukturisasi atau mendapatkan remunerasi yang lebih besar setelahnya. Remunerasi yang lebih besar didapatkan afiliasi lokal berupa transfer pricing lebih tinggi atas penjualan produk manufakturnya ke distributor.
Tantangan bagi otoritas pajak untuk melihat secara utuh perjanjian yang ada dengan menganalisa secara terpisah arm’s length compensation saat restrukturisasi dan arm’s length remuneration setelah restrukturisasi. Mengutip pernyataan seorang ahli transfer pricing :‘transfer pricing is an art, not an exact science … cause we debating a summary of a business process, may be we are too narrow, may be we are too weight..’.
Kesimpulan
Restrukturisasi bisnis untuk tujuan transfer pricing dilakukan dengan mentransfer (downsize) risiko dan assets (rights) perusahaan afiliasi lokal ke afiliasi asing (prinsipal), sehingga terjadi transfer profit potential. Transfer risiko dan transfer intangible property menjadi isu utama transfer pricing. Transfer risiko berarti transfer profit potential, namun transfer assets di samping diikuti dengan transfer profit potential juga diikuti dengan pembayaran kompensasi. Identifikasi transfer assets (rights) dilakukan dengan memahami model bisnis sebelum dan sesudah restrukturisasi. Restrukturisasi perusahaan afiliasi dikatakan wajar (arm’s length) apabila pada kondisi yang sama perusahaan independen setuju untuk direstrukturisasi, dengan mempertimbangkan pembayaran kompensasi atas transfer assets (rights) atau terminasi kontrak, dan remunerasi post restructuring dengan mempertimbangkan profit potential yang dimiliki perusahaan afiliasi.
Tulisan ini dimuat pada Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 6/Tahun 2015.