Norma Dalam Perhitungan PPh Dokter

Tenaga ahli, terutama dokter, seolah-olah mendapat perlakuan istimewa dalam pengenaan PPh. Rumah sakit (RS) akan langsung memotong PPh Pasal 21 atas honor dokter sebesar 7,5% dari imbalan bruto, demikian pula persekutuan hukum terhadap lawyer-nya, dan BUT terhadap ekspatriat dengan jabatan technical advisory for civil engineering-nya. Kerancuan kembali terjadi ketika tenaga ahli menghitung PPh terutang akhir tahun dalam SPT 1770. Sebagai tenaga ahli, mereka langsung menerapkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dalam menghitung PPh Pasal 25/29. Dokter mengakumulasikan penghasilan prakteknya di rumah sakit dan klinik sendiri dalam kolom pekerjaan bebas sehingga berhak atas norma penghitungan penghasilan neto. Potential tax lost akibat kesalahan penerapan norma dan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap dokter cukup besar, mengingat banyaknya jumlah Wajib Pajak dokter dan besarnya penghasilan mereka. Tulisan ini membatasi masalah pada Wajib Pajak tenaga ahli dokter dengan peredaran bruto tidak melebihi batas penggunaan norma. Tulisan ini juga mencoba mengkritisi SE- 51/PJ.43/95, aturan lama pemotongan PPh Pasal 21 terhadap dokter yang membedakan penghasilan dokter berdasarkan sumber pembayaran tanpa memperhatikan jenis kegiatan dokter tersebut.

Syarat Perkiraan Penghasilan Neto PPh Pasal 21 Dan Penerapan Norma

Dasar hukum pemotongan PPh Pasal 21 dengan Perkiraan Penghasilan Neto adalah Pasal 9 ayat (7) Per-15/PJ/2006, yang berbunyi :

‘Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto’.

Pasal tersebut menyebutkan persyaratan kumulatif untuk dikenakan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto, yaitu :

1. Kepada tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris

2. Melakukan pekerjaan bebas.

Tenaga ahli yang dimaksud dalam Per-15/PJ/2006 sangat jelas disebutkan : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. Yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya. Dengan demikian dokter yang bekerja di rumah sakit jelas merupakan tenaga ahli.

Syarat kedua pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto adalah melakukan pekerjaan bebas. Syarat ’pekerjaan bebas’ juga relevan dengan syarat Wajib Pajak yang dapat menggunakan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP. Pasal 28 UU KUP menyatakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, orang pribadi dengan profesi apapun tidak berhak atas norma penghitungan penghasilan neto.

Pekerjaan Bebas

’Pekerjaan bebas’ menjadi kata kunci pengenaan PPh Pasal 21 dengan perkiraan penghasilan neto dan penerapan norma penghitungan penghasilan neto. Pasal 2 ayat (1) KEP-545/PJ./2000, salah satu pasal yang tidak diubah oleh PER-15/PJ/2006, menyebutkan :

’…pemotong pajak adalah perusahaan yang membayar imbalan sehubungan dengan kegiatan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya’.

Pasal ini menekankan dan mempertegas pengertian pekerjaan bebas, yaitu bertindak untuk dirinya sendiri dan atas nama dirinya sendiri. Bukan bertindak untuk sebuah perusahaan dan jasa diberikan juga bukan atas nama perusahaan. Bila konsumen penerima jasa tidak mengenal atau tidak perlu tahu siapa individu tenaga ahli yang menyerahkan jasa, maka tenaga ahli tersebut dalam memberikan jasa bertindak untuk dan atas nama perusahaan, bukan melakukan pekerjaan bebas. Jika tenaga ahli bertindak untuk dan atas nama persekutuannya, yang diketahui konsumen penerima jasa adalah perusahaan pemberi jasa, dan nama perusahaan itulah sebagai brand atau yang menjadi titik perhatian konsumen. Disayangkan kata-kata : ’bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya’ tidak disertakan kembali untuk kembali mempertegas pengertian ’pekerjaan bebas’ dalam redaksional Pasal 9 ayat (7) Per-15/PJ/2006.

Definisi pekerjaan bebas secara khusus disebutkan dalam Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2000, yaitu : pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Kata kunci yang dapat diambil dari definisi UU KUP adalah ’tidak terikat oleh suatu hubungan kerja’. Hal ini berarti tidak ada hubungan : perusahaan-pegawai, Atasan-bawahan, dan ikatan-ikatan sebagaimana lazimnya dalam hubungan kerja, seperti : surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian, status pegawai, jabatan, absensi, promosi dan mutasi.

Menurut UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, tenaga kerja dibagi dua berdasarkan periode (jangka waktu) perjanjian kerja, yaitu karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Sedangkan definisi pegawai menurut KEP-545/2000 dan perubahannya adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Dengan demikian setiap orang bekerja berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja, baik untuk jangka waktu terbatas (karyawan tidak tetap) maupun tidak terbatas (karyawan tetap) adalah pegawai, bukan pekerja bebas. Hal ini ditegaskan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2006 (Peraturan DJP Nomor Kep-104/PJ./2006), kolom ‘pekerjaan bebas’ diisi dengan penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam statusnya bukan sebagai pegawai/karyawan baik tetap maupun tidak tetap.

Sebagai perbandingan, dalam tax treaty kegiatan sehubungan dengan pekerjaan (dependent personal service) diatur pada article 15, sedangkan pekerjaan bebas (Independent personal service) diatur pada article 14. Meskipun tidak diatur dengan jelas definisi Independent personal service pada article 14, namun perbedaan article yang mengatur kegiatan orang pribadi ini menggambarkan saling berlawanannya istilah pekerjaan bebas dan kegiatan sehubungan dengan pekerjaan. Hal ini ditegaskan pada income code 16 IRS yang mendefinisikan Independent personal services as contrasted with those performed by an employee.

Diberikannya perkiraan penghasilan neto atau norma penghitungan penghasilan neto pada pemotongan PPh Pasal 21/23 dan PPh Pasal 25/29 kepada Wajib Pajak yang melakukan pekerjaan bebas mencerminkan azas keadilan dan azas ability to pay dalam pajak. Perkiraan atau norma penghasilan neto adalah konsekuensi adanya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan pekerjaan bebas yang harus ditanggung sendiri oleh individu Wajib Pajak yang bersangkutan (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). Sesuai dengan karakteristik pekerjaan bebas : independent atau tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, maka setiap kegiatan operasional akan memerlukan biaya yang ditanggung sendiri, tidak ada perusahaan atau pihak lain yang akan menanggungnya. Berbeda dengan Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, semua biaya operasional pekerjaan yang dilakukan individu akan ditanggung perusahaan di mana ia bekerja. Wajib Pajak sebagai pegawai tetap hanya diberikan biaya jabatan (Pasal 8 PER-15/PJ.2006) yang jumlahnya dibatasi, merepresentasikan pengeluaran yang ’terpaksa’ ditanggung sendiri untuk dapat berada di tempat kerja atau siap melakukan pekerjaan, bukan biaya operasional kegiatan pekerjaan yang dilakukan.

Dokter praktek di RS yang memenuhi kriteria melakukan pekerjaan bebas adalah :

1. Dokter Tetap, yaitu dokter bukan sebagai pegawai RS yang mempunyai jadwal praktek tetap (hari dan jam praktek tertentu)

2. Dokter Tamu, yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit

3. Dokter yang menyewa ruangan di RS praktek atas namanya sendiri.

Ketika dokter membuka praktek atas nama sendiri, dalam menjalankan kegiatan pekerjaannya akan mengeluarkan biaya operasional untuk sewa ruangan, ATK, gaji/upah bagian administrasi, material/obat, dan lain-lain. Biaya operasional inilah yg di-cover oleh norma penghitungan penghasilan neto. Dokter praktek di RS atas namanya sendiri dengan jadwal yg telah ditentukan (biasanya mulai sore hari) dapat dikatakan melakukan pekerjaan bebas. Mekanisme pembayaran oleh pasien dapat diterima langsung oleh dokter yang bersangkutan, tidak melalui kas rumah sakit, atau dapat pula pasien membayar di kasir rumah sakit. Mekanisme pembayaran ini tidak mempengaruhi pengertian pekerjaan bebas. Namun mekanisme pembayaran inilah yang menjadi dasar penentuan pengenaan PPh Pasal 21 dengan perkiraan penghasilan neto dalam SE-51/PJ.43/1995. SE-51/PJ.43/1995 juga cenderung menimbulkan interpretasi keliru dalam menghitung PPh terutang berdasarkan pasal 16 UU PPh, di mana pada angka 4 huruf a disebutkan penghasilan yang bersumber dari keuangan rumah sakit atau bendaharawan rumah sakit yang diterima oleh dokter pengurus/pimpinan rumah sakit dan dokter pegawai rumah sakit digabungkan dengan penghasilan pekerjaan bebas baik yang bersumber dari RS maupun dari tempat praktek lainnya.

Wajib Pajak dokter yang tidak melakukan pekerjaan bebas akan cenderung mempertahankan status hak normanya (mulai tahun 2007 peredaran bruto tidak melebihi Rp.1,8 miliar). Bila harus menggunakan pembukuan, dokter akan menghadapi beberapa kesulitan :

1. Merinci biaya operasional praktek yang mereka tanggung sendiri, karena biaya telah ditanggung oleh rumah sakit (karakter kegiatan sehubungan dengan pekerjaan) atau melaporkan jumlah peredaran bersih setelah dipotong rumah sakit

2. Dokumen pendukung biaya atau bagian rumah sakit, karena pihak rumah sakit tidak menyerahkan dokumen biaya atau bagian rumah sakit kepada dokter.

Dokter akan ’terpaksa’ memasukan biaya untuk kepentingan pribadi, bukan pengeluaran 3M yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan pekerjaan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU PPh.

Kesimpulan dan Saran

1. Dokter tidak berhak atas perkiraan penghasilan neto berdasarkan pasal 9 ayat (7) Per-15/PJ/2006 dan norma Penghitungan Penghasilan Neto berdasarkan Pasal 14 UU PPh, kecuali melakukan pekerjaan bebas. Ketentuan ini juga berlaku untuk dokter yang melakukan praktek di RS dan tenaga ahli lainnya.

2. Kriteria pekerjaan bebas adalah :

a. Bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama perusahaan/persekutuannya, atau

b. Tidak terikat oleh suatu hubungan kerja (sebagai pegawai/karyawan tetap maupun tidak tetap).

3. Perlu segera dibuat aturan/penegasan yang lebih jelas, menggantikan SE-51/PJ.43/1995, tentang penerapan perkiraan penghasilan neto berdasarkan pasal 9 ayat (7) Per-15/PJ/2006 dan norma Penghitungan Penghasilan Neto berdasarkan Pasal 14 UU PPh terhadap dokter RS, dengan kriteria pekerjaan bebas sebagai dasar penentuannya.

8 thoughts on “Norma Dalam Perhitungan PPh Dokter

  1. mohon penjelasan, utk dokter yg praktek di rs A (bukan dokter tetap, hanya dibayar bila ada pasien saja), dan praktek pribadi. Tk

    • utk praktek pribadi jelas pake norma. penghsl dr RS pake norma bila penghsl bruto yg dilaporkan dlm SPT belum dipotg bagian RS.

  2. Mohon petunjuk bagaimna cra menghitung pajak dokter yg buka praktek d rumh skit A…akan tetapi dokter tersebut adlh pegawai d rumah sakit B,trims

    • Utk menghitung penghasilan neto praktek pekrjaan bebas di RS A gunakan norma. Sedangkan utk menghitung pengsl neto utk penghsl sehubg pekerjaan di RS B gunakan by jabatan (tanpa norma). Kemudian akumulasikan kedua penghasilan neto tersebut utk dikurangkan dgn PTKP.

  3. Pasal 3 dan 16 Per31/2009 tetap mensyaratkan ‘pekerjaan bebas’ utk mendapat norma. tidak berubah dari dulu syarat ini.

    Bila tdk ada by operasional kegiatan medis yg ditanggungnya, maka dr tsb tidak menjalankan pekerjaan bebas dan tidak berhak menghitung dgn norma.

    Hubungan pekrjaan bebas, menanggung by operasional, dan norma ditegaskan pd pasal 10 (6) Per 31/2009, mengatur penghasilan bruto dr dari praktek di RS/klinik harus sjumlah yg dibayarkan pasien, sebelum dipotong by or bagi hasil dgn RS/klinik.

  4. mohon pencerahannya bos,
    jika dokter praktek pribadi bebas, maka jelas dapat menggunakan norma, namun jika praktek(bukan pegawai tetap) pada RS maka akan timbul perdebatan(terkait definisinya seperti yg bos jelaskan).
    dari hasil survey dilapangan terdapat 2 jenis penghasilan yang diterima dokter dari RS :
    1. Jumlah Bruto, dimana yang dikenakan 7.5% adalah dari nilai sebelum dipotong biaya2 RS, atau dengan kata lain nilai yang dibayar pasien kepada RS atas jasa dokter
    2. Jumlah Netto, dimana nilai yang dibayar adalah jumlah penghasilan take home pay dokter tersebut(setelah dikurangi biaya RS). dan hal ini mirip dengan penghasilan sebagai karyawan(definisi karyawan tetap dan tidak tetap saya masih butuh pencerahan)

    Dari sana dapat dilihat bahwa terdapat 2 perlakuan yang berbeda, dimana untuk jenis 1, pemotongan 7.5 % tersebut adalah memang dari jumlah bruto sebelum biaya, dan jenis kedua yang menurut saya seharusnya dipotong PPh Pasal 21 tarif progresif.

    Permasalahannya peraturan terbaru hanya menjelaskan bahwa tarif yang dipotong adalah progresif, yang berarti (menurut saya) seharusnya metode pembayaran RS ke dokter menggunakan jenis ke 2… sehingga pada SPT Tahunannya masuk kedalam penghasilan sehubungan dengan pekerjaan.

    Mohon pencerahannya, karena saya masih belum terlalu yakin…

  5. yup bos. tp pmk 252 kan menghapus perkiraan penghsl neto utk tenaga ahli, termasuk notaris/dokter praktrek sendiri. SPT 1770 nya pasti LB juga kan.

  6. Setuju bos…
    Apalagi dengan PMK-252 yang menyatakan pemotongan PPh 21 tenaga ahli (termasuk dokter) adalah dengan tarif Pasal 17 dari Penghasilan Bruto.

    Sehingga, jika dokter yang praktek di RS boleh pakai norma, pasti dia LB terus…

Leave a reply to Rusdi Yanis Cancel reply